Minggu, 01 Agustus 2010

Perang Badar Kubra Bagian 3

Sebelum Peperangan
Rasulullah saw. dan para sahabat begitu bersemangat. Mereka memilih tempat yang tepat di arena peperangan. Mereka mendirikan sebuah podium sebagai tempat untuk pemimpin yang dijaga dengan ketat. Barisan pasukan mulai di atur dan kalimat “Ahad… Ahad…” dipilih sebagai bahasa sandi di antara sesama muslim. Hal ini untuk menghindari kesemerawutan, dimana pasukan muslim menghantam saudaranya sendiri ketika perang sedang berkecamuk. Rasulullah saw. memerintahkan pasukannya untuk tidak memulai penyerangan kecuali setelah mendapatkan perintah. Hal ini agar mereka tidak terpancing oleh orang musyrikin untuk berperang tanpa hasil. Rasulullah saw. berpesan, “Jika mereka menyerang kalian, maka lemparlah mereka dengan anak panah. Jangan kalian bergerak menyerang mereka sampai aku mengizinkannya.”
Demikianlah Rasulullah saw. mempersiapkan segalanya dengan sangat matang. Beliau letakkan segala sesuatunya sesui dengan tempat yang seharusnya. Beliau tidak menyisakan celah untuk hal yang sifatnya tiba-tiba tanpa terencana. Kemudian beliau bertawakkal menyerahkan semuanya kepada Allah swt. setelah berupaya secara optimal sebatas kemampuannya sebagai manusia.
Lawan Tanding
Kedua pasukan pun akhirnya saling berhadapan. Fanatisme jahiliah begitu tampak jelas pada pada diri orang-orang musyrik. Setiap orang ingin memperlihatkan kedudukan dan keberaniannya. Muncullah kemudian Al-Aswad bin ‘Abdul Asad Al-Makhzumi. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat sadis dan biadab. Dengan nada tinggi ia menantang, “Aku berjanji kepada Tuhan bahwa aku akan meminum dari kolam mereka (yaitu kolam yang dibikin oleh orang-orang muslim), atau aku akan menghancurkannya, atau aku akan mati karenanya.” Ia pun menyerang kolam tersebut. Hamzah bin ‘Abdul Muththalib segera bergerak. Ia ayunkan pedangnya hingga menebas setengah dari kaki bagian bawahnya sebelum ia sempat sampai ke kolam tersebut. Namun demi keangkuhan sumpahnya ia merayap. Hamzah pun langsung menenggelamkannya di dalam kolam. ‘Utbah bin Rabi’ah terpancing emosinya. Ia ingin menunjukkan keberaniannya. Tampil pula bersamnya saudaranya, Syaibah dan anaknya Walid. Ia pun menantang untuk berduel. Tiga orang pemuda dari kalangan Anshar gugur di hadapan mereka. Rasulullah saw. pun kembali menjawab tantangan mereka. Maka majulah ‘Ubaidah bin Al-Harits, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib, dan ‘Ali bin Abi Thalib, kesemuanya adalah dari keluarga Rasulullah saw. Beliau mengutamakan kemampuan mereka atas dasar keberanian dan pengalaman mereka dalam berperang sudah sangat masyhur. Dengan izin Allah swt. pula akhirnya mereka berhasil mengalahkan orang-orang Quraisy. Semangat kaum muslimin kembali terdongkrak dan kekuatan orang-orang kafir pun mulai berjatuhan.
‘Ubaidah (prajurit yang paling muda) berhadapan dengan ‘Utbah, Hamzah berhadapan dengan Syaibah, sementara ‘Ali berhadapan dengan Walid bin ‘Utbah.
Hamzah tidak mengulur-ulur waktu untuk membunuh Syaibah. Demikian pula halnya yang dilakukan oleh ‘Ali terhadap Walid. Berbeda dengan ‘Ubaidah, baik ia maupun ‘Utbah sama-sama terluka. ‘Ali dan Hamzah pun segera mengayunkan pedang mereka hingga ‘Utbah tersungkur mati. Lalu keduanya membawa ‘Ubaidah ke perkemahan pasukan untuk diobati. Peristiwa ini merupakan satu awal yang baik bagi kaum muslimin sekaligus bencana bagi orang-orang musyrikin. Awal yang memilukan ini benar-benar telah membuat mereka berang. Mereka mencoba memancing emosi kaum muslimin, namun umat Islam kala itu mampu menahan diri hingga datang perintah dari Rasulullah saw. untuk melakukan penyerangan.
Rasulullah saw. Bermunajat Kepada Allah swt.
Pada saat kritis sudah seharusnya seorang hamba kembali dan berlindung kepada Allah swt. Mereka harus benar-benar memurnikan niat dan meluruskan tujuan serta menundukkan hati agar Allah swt. berkenan memecah kesukaran dan menganugarahkan kemenangan. Oleh karena itu, di tempat peristirahatannya Rasulullah saw. menghadapkan wajah ke kiblat sambil mengangkat kedua tangannya ke langit. Rasulullah saw. pun berdoa memohon kepada Tuhannya, “Ya Allah, orang-orang Quraisy telah datang dengan kesombongannya. Mereka ingin mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, aku bermunajat memohon janji-Mu. Ya Allah, tunaikanlah apa yang telah menjadi ketetapanMu. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika kelompok yang kecil dari umat ini binasa sekarang, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.”[1]
Demikianlah beliau terus bermunajat memohon kepada Allah swt. sambil mengangkat kedua tangannya sampai sorbannya jatuh dari atas pundaknya. Abu Bakar pun mendatanginya dan meletakkan sorban itu pada kedua pundaknya. Lalu ia berkata dari belakangnya, “Wahai Rasulullah, cukuplah apa yang telah kau minta kepada Tuhanmu karena sesungguhnya Ia akan memberikan apa yang telah dijanjikannya kepada-Mu.” Namun Rasulullah saw. tidak berhenti berdoa kecuali setelah Allah swt. menurunkan firman-Nya, “Ingatlah ketika kalian memohon pertolongan kepada Tuhan kalian. Maka Ia pun mengabulkannya bagi kalian. Sesungguhnya Aku benar-benar membantu kalian dengan seribu malaikat yang berada di belakang. Dan Allah tidaklah menjadikan hal tersebut kecuali sebagai sebuah kabar gembira dan agar hati-hati kalian bisa tenang dengannya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali hanya datang dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[2]
Kemudian Rasulullah saw. berkata, “Bergembiralah, wahai Abu Bakar, pasukan itu akan dilumatkan dan lari ke belakang. Bergembiralah karena pertolongan Allah swt. telah datang. Ini Jibril memegang kendali kuda dan menungganginya. Pada giginya terdapat debu.”[3]
Rasulullah saw. Memobilisasi Semangat Pasukan Untuk Bertempur
Meskipun Allah swt. telah menjamin kemenangan bagi dirinya, namun Rasulullah saw. tidak tinggal diam menunggu pertolongan dari langit. Karena beliau benar-benar sadar bahwa kemenangan tidak akan datang kecuali dengan mengikuti semua perintah dan ketentuan Allah swt., persiapan yang matang dan kejujuran hati. Karena sesungguhnya Allah swt. tidak akan mengubah apa yang sedang menimpa sebuah kaum hingga mereka berupaya untuk mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Oleh karenanya, harus ada satu upaya keras dan pengorbanan yang berlipat hingga kaum muslimin memang benar-benar berhak mendapatkan pertolongan dan kemenangan tersebut.
Untuk itu, Rasulullah saw. pun turun ke tengah-tengah barisan pasukan dan memberikan khutbah (orasi) militer sebelum peperangan dimulai, untuk menumbuhkan optimisme dan menguatkan hati mereka.
Demi zat yang jiwaku berada di antara kedua tangan-Nya. Tidaklah seseorang memerangi mereka pada hari ini, kemudian ia terbunuh dengan penuh kesabaran dan mengharap keridhaan dari Allah, maju dan tidak lari dari peperangan, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi!” ‘Umair bin Himam Al-Anshari berkata, “Wahai Rasulullah, surga yang luasnya seluas lapisan langit dan bumi?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” ‘Umair menimpali, “Bakh… bakh… (aku ridho… aku ridho).” Rasulullah saw. berkata, “Mengapa engkau mengatakan bakh?” ‘Umair menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah. Aku hanya berharap agar aku akan menjadi penghuninya.” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau akan menjadi penghuninya.”[4] Kemudian ‘Umair mengeluarkan beberapa buah kurma dari tempat anak panahnya yang terbuat dari kulit. Ia pun mulai memakannya satu persatu, lalu berkata, “Seandainya aku masih hidup hingga aku memakan seluruh kurma ini, tentu itu adalah kehidupan yang sangat panjang sekali.” Kemudian ia pun melemparkan kurma-kurma yang ada di tangannya dan berkata,
Berpacu menuju Allah tanpa perbekalan
Kecuali takwa dan amal untuk hari akhir
Serta bersabar di dalam jihad karena Allah
Semua perbekalan pasti akan habis, kecuali takwa, kebaikan, dan keteguhan.
Peperangan
Faktor-faktor turunnya kemenangan bagi kaum muslimin pun semakin matang dan sempurna, baik itu persiapan strategis, rohani, maupun militer. Sementara orang-orang musyrikin tidak mengetahui akan hal tersebut. Mereka pun tidak tahu taktik berperang kaum muslimin yang baru. Sementara orang-orang musyrikin masih menggunakan cara konvensional di dalam berperang, yaitu strategi “hit and run” menyerang dan kemudian mundur ke belakang, menyerang ketika dalam kondisi kuat, dan mundur ke belakang ketika kondisi mereka sudah mulai lemah. Mereka berperang tanpa ada pengaturan strategi yang baik. Semuanya berdasarkan atas fanatisme, kebencian, dan serba semerawut. Sementara itu, kaum muslimin tetap diam sambil menembaki mereka dengan anak panah. Mereka tidak melakukan penyerangan, menunggu perintah dari Rasulullah saw. Sehingga banyak pasukan musyrikin yang tewas berjatuhan terkena anak panah kaum muslimin. Hal ini pulalah yang membuat semangat mereka semakin lemah dipenuhi rasa takut. Ketika itulah Rasulullah saw. turun di tengah-tengah pasukannya untuk melihat persiapan terakhir mereka sebelum melakukan penyerangan, sekaligus untuk memimpin sendiri peperangan tersebut. Kemudian beliau memerintahkan pasukannya untuk bergerak maju menghadapi pasukan Quraisy. Mulailah hunusan pedang umat Islam menebas satu persatu kepala orang-orang kafir yang selama ini melakukan pembangkangan penuh kesombongan.
Umat Islam benar-benar menunjukkan satu keberanian yang sangat luar biasa. Dan ketika peperangan semakin memuncak hebat, Rasulullah saw. justru maju ke depan barisan. ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika keadaan semakin genting dan pandangan mata memerah, maka kami pun berlindung di dekat Rasulullah saw. Tak seorang pun yang berani lebih dekat dengan musuh selain dirinya. Aku melihat sendiri ketika Perang Badar kami berlindung di dekat Rasulullah saw. dan ketika itu ia adalah orang yang paling dekat dengan musuh di antara kami.”
Sikap Heroik di Medan Perang
Sikap heroik dan jiwa kepahlawanan di medan perang ternyata bukanlah monopoli sahabat-sahabat senior dan pemimpin pasukan semata. Namun hal tersebut ternyata juga menular kepada sahabat-sahabat yang masih belia yang memang belum memiliki pengalaman perang sebelumnya. Bahkan jiwa heroik mereka setara dengan keberanian pemimpin pasukan Quraisy, seorang yang benar-benar memiliki kedudukan yang tinggi di tengah komunitas masyarakat mereka. Sebagai contoh Abu Jahal, seorang yang sudah sangat kaya akan pengalaman berperang. Ialah sang pemimpin pasukan yang ketika Perang Badar berputar mengelilingi pasukannya sambil memprovokasi mereka, “Jangan pernah merasa lemah atas kematian ‘Utbah, Syaibah, dan Walid. Karena sesungguhnya mereka terlalu tergesa-gesa. Demi Latta dan ‘Uzza, kita tidak akan kembali sebelum berhasil mencerai-beraikan mereka di pegunungan. Aku tidak ingin melihat salah seorang kalian membunuh salah seorang dari mereka. Namun habisi mereka sekaligus sehingga kalian dapat mengajarkan kepada mereka arti buruknya perbuatan mereka yang telah meninggalkan kalian dan keengganan mereka untuk menyembah Latta dan ‘Uzza.” Kemudian Abu Jahal membaca sebuah syair:
Tidak sebuah peperangan yang keras merasa dendam kepadaku
Mengorbankan dua tahun umurku masih dini
Untuk iniliha ibuku melahirkanku.
Kematian Abu Jahal
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkatan, “Ketika Perang Badar aku benar-benar berada di tengah barisan. Tiba-tiba saja dari sisi kanan dan kiriku muncul dua orang pemuda yang masih sangat belia sekali. Seakan-akan aku tidak yakin akan keberadaan mereka. Aku berharap seandainya saat itu aku berada di antara tulang-tulang rusuk mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku sambil berbisik, ‘Paman, tunjukkan kepadaku mana Abu Jahal.’ Kukatakan kepadanya, ‘Anakku, apa yang akan kau perbuat dengannya?’ Pemuda itu kembali berkata, ‘Aku mendengar bahwa ia telah mencela Rasulullah. Aku pun berjanji kepada Allah seandainya aku melihatnya niscaya aku akan membunuhnya atau aku yang akan mati di tangannya.’ Aku pun tercengang kaget dibuatnya. Lalu yang lainnya langsung memelukku dan mengatakan hal yang sama kepadaku. Seketika itu aku melihat Abu Jahal berjalan di tengah kerumunan orang. Aku berkata, ‘Tidakkah kalian lihat? Itulah orang yang kalian tanyakan tadi.’ Mereka pun saling berlomba menghayunkan pedangnya hingga keduanya berhasil membunuh Abu Jahal.”
Dalam salah satu riwayat, ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku akan merasa senang sekali seandainya aku berada di antara mereka berdua. Maka kutunjukkan kepada mereka yang mana Abu Jahal. Mereka pun meluncur layaknya dua ekor elang hingga mereka berhasil membunuhnya.” Kedua pemuda belia itu adalah anak ‘Afraa. ‘Abdullah bin Mas’ud mendapati Abu Jahal dengan sisa-sisa nafas terakhirnya. Kemudian ia pun langsung membunuhnya. Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Siapa yang pernah melihat apa yang telah dilakukan oleh Abu Jahal?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Ia pun bergegas pergi. Lalu ia menemukannya lemas di tangan kedua anak ‘Afra. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku pun menarik jenggotnya. Dan kukatakan, ‘engkau Abu Jahal!” Ia menimpali, “Apakah di atas Abu Jahal ada laki-laki lain yang telah kalian bunuh?”[5] kemudian ia pun membunuhnya lalu memberitahukannya kepada Rasulullah saw.
Tewasnya Pemuka Quraisy
Peperangan Badar pun ternyata menyisakan kepahitan bagi para pemuka dan pembesar Quraisy seperti ‘Utbah, (saudaranya) Syaibah, dan (anaknya) Walid. Demikian pula bagi Abu Jahal, Jam’ah bin Al-Aswad, Nabih dan Munabbih, Umayyah bin Khalaf serta Abu Al-Buhturi.
Terbunuhnya Umayyah bin Khalaf
Umayyah bin Khalaf merupakan salah seorang pemuka Quraisy di Kota Makkah yang pernah menyiksa Bilal dan orang-orang mukmin yang tinggal di sana. Peperangan Badar benar-benar telah membuatnya kehilangan akal dan pikiran. Sampai-sampai ia berteriak-teriak meminta pertolongan agar menyelematkan dirinya dari tengah peperangan tersebut.
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Ia berdiri bersama anaknya dengan penuh kebingungan. Waktu itu aku membawa beberapa buah baju besi yang telah menjadi harta rampasan perangku. Ketika ia melihatku, ia pun memanggilku.
“Wahai hamba Tuhan!”
“Ya,” jawabku.
“Apakah engkau akan menjadikan kami berdua sebagai tawanan perang? Diriku lebih baik dari baju-baju besi yang ada ditanganmu itu. Barangsiapa yang menawanku, maka niscaya aku akan menebusnya dengan unta yang banyak susunya.”
‘Abdurrahman berkata, “Kulemparkan baju besi itu dan kuraih tangan mereka berdua. Sementara itu ia berkata, ‘aku tidak pernah melihat situasi seperti hari ini sebelumnya.‘ Kemudian ia berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah, siapakah orang yang dikenal dengan bulu yang lembut di dadanya?‘” ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan kepadanya, ‘Hamzah bin Abi Muththalib.” Lalu ia berkata, “Itulah orang yang telah melakukan ini dan itu kepada kami.” ‘Abdurrahman berkata, “Demi Allah, aku akan benar-benar membalas mereka berdua jika Bilal melihatnya bersamaku. Dialah yang dulu menyiksa Bilal di Makkah karena ego jahiliah terhadap Islam. Ketika Bilal melihatnya, ia pun berkata, “Pentolan orang kafir Umayyah bin Khalaf. Aku tidak akan selamat jika ia selamat!” ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan, ‘wahai Bilal, ia adalah tawananku.” Bilal kembali berkata, “Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat.” Kemudian dengan nada lantang ia berteriak, “Wahai orang-orang Anshar, pentolan orang kafir adalah Umayyah bin Khalaf. Aku tidak selamat jika orang itu masih juga selamat.” Orang-orang pun berkumpul mengelilingi kami. Lalu aku ikut bersama mereka. Salah seorang mengayunkan pedangnya ke kakinya hingga ia terjatuh. Umayyah berteriak histeris, sesuatu yang belum pernah kudengar sebelumnya. ‘Abdurrahman berkata, “Kukatakan kepada Umayyah, “Selamatkanlah dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi keselamatan bagi dirimu! Demi Allah, aku tidak akan menolongmu sedikitpun.” Ia berkata, “Orang-orang pun berkumpul dan menghajarnya dengan pedang-pedang mereka sampai mereka membereskan keduanya.”
‘Adurrahman berkata, “Semoga Allah swt. senantiasa merahmati Bilal, ia telah menyakitiku dengan baju besi dan tawananku!!!” Demikianlah, barangsiapa yang berselisih dengan Allah, maka ia pun akan kalah. Dan barangsiapa yang menantang Allah swt. dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang-orang yang begitu terhina. Dan barangsiapa yang bersikap semena-mena terhadap hamba-Nya, maka niscaya Ia akan membalasnya dengan balasan yang setimpal. Ia jadikan dirinya sendiri sebagai pelajaran dan tanda kekuasaan-Nya. Dan azab akhirat itu benar-benar lebih menyakitkan dan lebih dahsyat.
“Dan Allah Maha Menguasai urusan-Nya, namun kebanyakan orang tidak menyadarinya.”[6]

[1] . Diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[2] . Surah Al Anfal9-10
[3] . Sirah Nabawiah, Ibnu Hisyam 1/627
[4] . Diriwayatkan oleh Imam Muslim 2/139
[5] . Ar-Rahiq Al Makhtum, hal 245
[6] . Yusuf 21

sumber: www.dakwatuna.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar